Minggu, 19 September 2010

Andai Besok terjadi

Malam itu nampak telah berakhir. Waktu subuh pun memanggil setiap muslim untuk menghadap Sang Kholiq. Imam memerintahkan muadzin untuk mengumandangkan adzan. Maka dikumandangkanlah adzan yang kemudian disusul dengan sholat sunnah Qobliyah, dzikir dan tasbih sebelum sholat. Setelah itu diperintahkan untuk iqomah yang kemudian dilaksanakanlah sholat subuh. Sesudah selesai melakukan sholat, berdzikir dan berdoa seperti biasa, mereka pun akan kembali ke rumah masing-masing.

Namun mereka sangat terkejut setelah melihat bahwa keadaan di luar tetap gelap gulita. Mereka saling menyalahkan dan saling tuduh menuduh, siapa yang memerintahkan adzan tadi.

Setelah beberapa saat timbul pertengkaran kecil antara mereka maka imam pun memerintahkan untuk adzan sekali lagi. Maka muadzin pun melaksanakan tugasnya seperti biasa.

Sesudah itu mereka sholat sunnah qobliyah, berdzikir seperti biasa, juga sholat subuh dua rokaat seperti biasa. Namun setelah mereka akan kembali, suasana di luar masih gelap.

Para jamaah keheran-heranan, apa sebenarnya yang telah terjadi. Dalam kebingungan itu, imam mengambil keputusan, untuk sekali lagi dilakukan hal-hal seperti tadi. Jika masih tetap seperti biasa, maka ini adalah isyarat terakhir, isyarat yang pernah dia dengar, bahwa dunia ini akan gelap dalam beberapa waktu lamanya sebelum kiamat.

Demikianlah dilaksanakan semua yang biasa dilakukan menjelang dan sesudah subuh sampai akhirnya membaca dzikir dan tasbih.

Namun ternyata di luar keadaaan masih tetap tidak berubah sedikitpun. Imam pun menangis sekuat-kuatnya. Dia berseru-seru, “Kiamat . . . !, Kiamat . . . !” Ini pertanda akan gelap dalam beberapa waktu lamanya.

Para jamaah yang mendengar itu pun tersentak kaget dan langsung berteriak-teriak menangis sambil berseru kiamat . . . ! kiamat . . . ! Mereka berpelukan anatara satu dan yang lainnya. Mereka berangkulan sambil meminta maaf atas segala kesalahan yang mereka lakukan sebelumnya. Mereka sadar bahwa hari itu adalah hari yang paling terakhir untuk menebus kesalahan.

Maka riuhlah masjid dengan tangisan jamaah. Mereka terus menerus menangis sambil berteriak-teriak kiamat . . . kiamat. Mereka pulang ke rumah masing-masing dan terus berteriak-teriak, kiamat. . . kiamat. Mereka membangunkan keluarganya yang masih tertidur pulas, sambil memberitakan kepada seluruh penduduk bahwa kiamat sudah akan tiba.

Namun orang-orang yang tertidur pulas itu tidak terbangun hanya dengan sekali gedoran pintu. Berulang-ulang mereka dibangunkan dengan teriakan keras, bahkan telah didobrak pintu hingga terbongkar, masih tetap tidak terbangun dari tidurnya.

Memang telah diriwayatkan bahwa pada malam terakhir itu, orang-orang tidur sepulas-pulasnya. Belum pernah orang tidur sepulas malam itu. Maka mereka pun dibangunkan dengan digoyang-goyangkan badannya berulang-ulang dan dengan teriakan kiamat yang semakin keras, barulah mereka terbangun.

Saudaraku . . . ! Dapat dibayangkan jika kau terbangun seperti itu, dan kata yang kau dengarkan adalah kiamat, bagaimanakah keadaanmu?

Sungguh, pada saat itu orang-orang sangat terkejut, dan dengan setengah sadar mereka langsung berteriak sambil menangis sejadi-jadinya, kiamat… kiamat. Maka riuhlah penduduk desa, kota dan seluruh negeri dengan tangisan penyesalan.

Seluruh manusia terus menangis sambil berpelukan memohon maaf atas segala kesalahan. Selama 40 hari alam ini gelap, dan tangisan manusia memenuhi bumi. Dari hari ke hari, tangisan itu makin tak kedengaran, karena kehabisan suara. Namun, karena mereka masih terus menangis, maka air mata mereka habis dan berganti dengan darah.

Sungguh suatu hari yang amat menakutkan, hari menunggu saat datangnya kiamat, hari dalam kegelapan selama 40 hari, hari menangis darah yang amat memilukan dan para penyesalan yang amat mengharukan.

Saudaraku . . .! Sebagian orang mengatakan bahwa riwayat di atas dhoif, sebab ada riwayat lain yang mengatakan bahwa kiamat itu tidak akan terjadi selama masih ada kalimat “Laa ilaaha Illallaah” di bumi, atau masih ada orang yang masih menyembah Allah. Namun karena kita ingin memetik hikmahnya, maka riwayat itu tetap kami sampaikan, dengan alasan bahwa mungkin yang di maksud kalimat “Laa ilaaha illallaah” di atas ialah keyakinan yang benar, bukan keyakinan yang hanya asal di bibir saja. Bukan “Laa ilaaha illallaah” di mulut, melainkan yakin yang benar dalam hati, atau bukan ibadah yang hanya asal sujud saja, tanpa keyakinan yang tegus. Wallahu a’lam.

Saudaraku… ! Jika di hari itu kau masih hidup, kau akan menangis dalam tangisan yang amat mengharukan. Kau akan menangisi dirimu sejadi-jadinya, kau akan berteriak sepuas-puasnya karena penyesalanmu yang amat sangat. Dari hari ke hari suaramu itu makin tak kedengaran. tenagamu kian hari kian lemah tak berdaya, akhirnya suaramu akan lenyap dan air matamu akan habis. Namun karena engkau masih terus menangis, maka air mata itu berganti dengan darah.

Inilah air mata yang tidak pernah kau temukan dalam hidup ini, air mata darah dan penyesalan yang tidak pernah terbayangkan. Di dunia ini ada air mata darah hanya dalam kiasan, tapi di saat itu air mata darah pasti akan menjadi kenyataan.

Saudaraku… ! Sementara dalam suasana yang amat mencekam itu, tiba-tiba cahaya fajar muncul. Namun dia tidak terbit dari sebelah timur, melainkan muncul dari sebelah Barat. Semua orang gemetar ketakutan yang amat dahsyat. Kini, matahari yang biasa terbit dari sebelah Timur, telah muncul dari Barat.

Inilah matahari yang membawa berita kiamat yang amat menakutkan, matahari penyesalan yang tiada terkatakan. Semua orang memandangnya dengan perasaan yang amat mencekam.

Setelah matahari itu terbit setinggi dua busur panah, dia menangis sambil meratap. Ya Allah, andaikata aku tahu bahwa hari ini aku terbit hanya untuk yang terakhir kalinya, sungguh lebih baik aku tidak terbit sebelum ini. Ampunilah aku Yaa Allah dari segala kelalaian dan kesalahnku.

Kemudian matahari itu perlahan-lahan turun menuju ufuk dengan sinarnya yang semakin suram. Orang-orang semakin ketakutan. Detik-detik berlalu semakin mencekam, alam berduka dan semua makhluk membisu ketakutan, karena sesudah matahari itu terbenam nanti sesudah dia bersembunyi di balik ufuk, akan terjadilah sesuatu yang amat dahsyat, yakni akan digoncangnya bumi ini segoncang-goncangnya dan akan dihancurkannya alam ini sehancur-hancurnya.


(Kutipan : Menuju Perjalanan Abadi hal 34 – 38)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar